Sebuah Pemikiran Dr. Haidar Bagir
Setelah mengkaji lebih dalam
pemikiran Dr. Haidar Bagir dalam bukunya "Islam Tuhan Islam Manusia"
amat menarik untuk didiskusikan istilah
judul buku ini. islam dibagi menjadi
dua, yaitu islam dalam naungan tuhan dan islam dalam perspektif manusia secara relatif.
istilah ini, memunculkan perbedaan interpretasi mengenai maksud istilah
tersebut, disamping seorang penulis cukup sederhana dengan menggambarkan
istilah tersebut bagi manusia yang cenderung selalu merelatifkan penafsiran
tetapi enggan untuk menerima kerelatifan lain atas penafsirannya pada islam.
Disinilah letak problematika itu,
yaitu pada islam manusia. sesungguhnya islam yang paling benar dan mutlak
adalah islam yang berasal atau yang berada pada sisi Tuhan, seperti dalam Al
Quran menjelaskan "Sesungguhnya agama yang berada disisi Allah itu ialah
islam", ada islam yang berada pada sisi Tuhan yang diturunkan pada manusia
melalui nabi-Nya dan setelah proses ini islam bertransformasi menjadi relatif,
atau islam dalam perspektif manusia yang biasa sering diistilahkan dengan
mazhab.
Bukan menjadi persoalan jika islam
itu dimaknai melalui mazhab, justru islam karena kebesaran kebenarannya
merangkul semua kebenaran yang relatif pada manusia, seperti ungkapan
Jalaluddin Rumi bahwa "Kebenaran tuhan
itu bagaikan cermin, dan cermin itu jatuh ke bumi menjadi pecahan yang beraneka ragam". sesungguhnya kebenaran
Tuhan itu amat luas, tetapi dengan penafsiran yang relatif antar manusia
kebenaran tuhan itu kemudian menjadi sempit.
Melalui fenomena penafsiran kerelatifan
ini, tentu masing-maing para mujtahid berhak untuk menafsirkan teks-teks islam
dengan cara apapun yang seperti disebut Ibnu Arabi, "penafsiran atas ayat
suci itu bisa sampai sebanyak jumlah manusia yang lahir mulai dari nabi Adam
sampai hari kiamat". jadi tentu penafsiran atau ijtihad seseorang pada
teks Al Quran menjadi hak atas dirinya,. sebab kebenaran tuhan itu sangatlah
luas.
Kendati demikian, melalui penafsiran
yang relatif (Mazhab) dari beberapa ulama atau cendekiawaan muslim atau juga
kelompok tertentu kini fanatik dengan penafsirannya sendiri, dalam beberapa
kasus cenderung menyalahkan, mengkafiran, bahkan menuduh sebagai ahli bid'ah
atas mazhab lain yang tidak sejalan dengan cara penafsirannya atas islam.
inilah yang disebut sebagai takfirisme. yaitu saling mengkafirakn dan
menjelekkan penafsiran lain yang berbeda
dengan kelompok atau penafsirannya. islam kini menjadi sempit. Tuhan kini
menjadi kecil.
Atas kecenderungan takfirisme
tersebut yang menggorogoti kebersatuan ummat, mungkinkan takfirisme itu adalah
produk atau ajaran islam Tuhan? dengan demikian kita mampu menerima atau bahkan
menolak fenomena takfirisme ini yang cukup populer dikalangan ummat. dengan
mempelajari ajaran penting islam, yaitu Tauhid, menjadikan segala sesuatu
adalah satu kesatuan yang berasal dari tuhan. jelas ini Takfirisme bukan ajaran
tuhan. agama diutus kepada manusia atas kebutuhan manusia itu sendiri untuk
mencapai kebahagiaan tanpa mengenal status dan golongan dalam masyarakat. jika
takfirisme adalah ajaran yang memusuhi sesama makhluk tuhan tentu ini bukan
menjadi bagian tujuan agama itu diturunkan.
Dengan memahami esensi dan tujuan
agama diturunkan pada manusia, haruslah dipahami bahwa orang yang beragama akan
selalu membawa kebahagiaan atas manusia lain apapun mazhab dan golongannya. ini
tentu menjadi perintah dan tujuan agama itu diturunkan, bukan malah menjadi
peneror atau penebar ancaman dan ketakutan karena persoalan perbedaan
penafsiran dan jalan kita menuju tuhan.
Perlu kita pahami agama dan syariat
seperti itu apa? kita satu agama, tetapi dengan syariat kita berbeda jalan
menuju pada Tuhan. jalan Tuhan itu sangatlah luas dan lurus, sehingga
kerelatifan atas penafsiran pun sangatlah memungkinan berada pada jalan yang
lurus itu. perbedaan adalah produk asli tuhan pada setiap makhluknya agar kita
mampu memahami perbedaan lain.
Dewasa ini, penyakit takfirisme bukan
hanya dipraktikkan oleh kalangan masyarakat awam, tetapi juga dipraktikkan oleh
para kyai dan ulama yang mengaku sebagai orang yang kembali pada esensi tuhan
yang sebenarnya. tidak peduli seberapa panjang jenggot, dan seberapa panjang
juga surbannya, ia tak berhak untuk memaksanakan cara penafsirannya pada
kelompok lain sesuai dengan caranya memahami agama. sebab tuhan tak pernah
memberikan mandat pada kita untuk mampu mengkafirkan dan menyalahkan kelompok
lain secara bebas. ini tentu tugas dan tanggung jawab tuhan atas hambnya, bukan
pada tugas dan peran manusia.
melalui pembacaan ini, jelas
takfirisme bukanlah produk islam atau ajaran islam sendiri, justru adalah hal
yang mesti kita hindari. agama diturunkan untuk menjaga manusia dengan akhlak
mulia pada sesama. pengkafiran ini justru akn memecah belah ummat, sedangkan
kita diperintahkan untuk mengutamakn persatuan dalam menjalankan amar ma'ruf dan
melawan kemungkaran (Ali Imran 103-104).
January 08, 2018
0 comments:
Post a Comment