Meniti lebih jauh kedalam suasana
ketika para penyerang melancarkan aksinya didepan seluruh masyarakat dan merasa
benar seperti sedang melawan kemungkaran. Padahal yang mereka serang adalah
saudara yang selalu dikalim sebagai sedarah dalam kenyakinan dan berbangsa.
Saya
masih percaya bahwa dalam sastra selalu diceritakan tokoh protagonis melahirkan
konflik dengan tokoh lain. Setiap cerita melahirkan konflik yang berbeda
berdasarkan selisih perbedaan dari kedua tokoh. Lantas bagaimana mereka menyelesaikan
konflik itu? Kadangkala mereka saling menjatuhkan dan bertikai. Juga saling
memusuhi dalam setiap ranah. Sering kali berujung pada konflik besar yang
membawa cerita pada jatuhnya salah satu tokoh. Maka konflik dan cerita selesai.
Malan ini
hujan, biasanya makhluk melata yang gembira dengan ini muncul dari dalam tanah,
turun dari sela-sela bangunan, berjalan dan sesekali menakuti para penghuni
rumah dengan teriakan menggelikan. Saat itu, kumpulan kata ini ditulis dan
seekor kucing lewat depan pintu kamar yang terbuka. Juga sedikit guyuran butir
hujan yang masih bertahan.
Benarkan
dalam penmyelesaian konflik diharuskan ad salah satu pemain yang harus gugur
dan tewas bersimbah darah dengan kekalahan dan akan disebut sebagai resolusi?
Amat bodoh mungkin jika saya mengambil analogi sederhana dari sebuah karya
sastra, tetapi dengan meminjam teori mimetik, karya sastra cenderung melahirkan
gambaran tentang dunia. Manusia pada mulanya takut mengkritik para penguasa
dengan ancaman yang mengerikan, tetapi dari kekuasaan itulah lahir para tokoh
dalam golongan kaum marginal sadar dan menentang penguasa dengan cara yang
cukup kreatif. Para pengarang klasik meminjam pengalaman sosial yang amat buruk
sebagai inspirasi cerita dari karyanya, itulah yang menyebabkan beberapa karya
klasik bernilai tinggi dan dianggap sebagai karya fenomenal. Begitulah cara
mereka melawan, yakni dengan sastra.
Jika
hari ini para sastrawan terlahir dengan aliran mimetiknya, mungkin mereka akan
melahirkan karya yang penuh dengan pertikaian dan agama. Sebab dinegara ini pertarungan
tentang perbedaan menjadi tema sentralnya, persoalan suku, agama dan ras.
Cenderung mempertahankan dari golongan mana mereka berasal. Ada juga kelompok
kedamaian menggusur lawan mereka dengan kekerasan yang berujung pada tangisan
dan darah. Tetapi ia dibenarkan, sebab ia meneriakkan hak asasi manusia dan
ucapan Allahu Akbar. Maka anarkisme mereka dianggap sebagai kesucian dan harus
didukung dan dibenarkan.
Kendati demikian, sebagai seorang
muslim yang berorientasi pada gerakan amar ma’ruf nahi mungkar haruslah
ditafsirkan sebagai gerakan sosial untuk aksi. Sebab Al Quran mengajarkan tidak
hanya pada persoalan halal dan haram semata, tetapi lebih dari pada itu, Islam
meneriakkan kedamaian yang merata tanpa danya perbedaan kelas.
Perihal pertarungan kelas, dewasa
ini Marxian lah ideoloi yang acap kali membahas tentang pertaruangan kelas. Dalam
pemahaman pertaruangan kelas menurut Marxian, perbedaan kelas dibedakan
berdasarkan pada kepemilikan alat pribadi. Meskipun dalam arena pertarungan-kelas
proletar tidak mampu memungkiri dirinya untuk melepaskan diri dari
ketergantungan pada mereka yang memiliki alat pribadi.
Modernitas yang mulai merambah
dunia dewasa ini tidak terlepas dari peranan industrianisme secara besar-besaran.
Sebagai arus yang sulit dibendung, pemilik alat produksi beraksi dengan dalih
mampu menyelesaikan pekerjaan sehari menjadi satu jam, pekerjaan ringan akan
menjadi mudah dengan tawaran melenakan dari para pemiliki alat produksi,
kendati demikian, iming-iming yang ditawarkan tidaklah hanya berorientasi pada
urusan hablum minannas semata untuk
membantu para petani membajak sawahnya atau menggiling hasil panennya dengan
lebih cepat. Tetapi penundukan atas ketergantuangan pada alat produksi tersebut
melahirkan sistem yang disebut sebagai sistem kapitalisme dewasa ini.
Selain berbicara tentang ideologi
Marxian, pertarungan kelas dalam islam tidaklah sama dengan pengenalan
pertaruangan kelas ala Marxis, kendati pertarungan pada Marxian lebih fokus kepada
perbedaan yang dilahirkan dari proses kepemilikan pribadi alat produksi, islam cenderung
berosientasi pada persoalan keadilan sebagai perbedaan kelas, jadi dalam islam
kaum tertindas (Mustadh’afin) adalah mereka yang tidak mendapat keadilan dalam
struktur sosial masyarakat, sedangkan kaum penindas (Dzalim) adalah mereka yang
suka menindas dan melakukan ketidak adilah secara merata.
Lalu apa peran islam memandang
pertarungan ini?, perlukah islam juga memperjuangkan sistem pertarungan ala
marxian? Sedangkan islam juga punya ranah pertarungan yang mesti dibela tidak
hanya pada persoalan kepemilikian pribadinya, dalam paradigma islam-memandang
pertarungan pada ranah marxian itu sempit. Apakah kaum yang harus dibelah
adalah mereka yang menyebut dirinya sebagai kaum buruh dan lawan rivalnyta
adalah kapitalisme sedangkan yang mesti diperjuangkan tidak sesempit ranah itu.
Seperti yang telah dijalani
Muhammad, islam tidak mempersoalkan istilah kepemilikan pribadi, selama ia
masih adil dan menjunjung keadilan, maka hal itu diperbolehkan. Tetapi, ada
ranmh yang lebih mendesak untuk dituntaskan kaum muslimin dewasa ini, ialah
persoalan perbedaan kelas dari sudut pandang keadilan.
Ketidak adilan merupakan sistem
pembedaan golongan masyarakat. Inilah yang saya sebut sebagai dualisme sosial,
sebagai bentuk pembedaan yang signifikan dan praktikal dalam struktur. Bukan
kah islam memandang manusia sebagai suatu kesatuan yang utuh, sebab kita lahir
dari manusia yang sama, ialah keturunan Adam.
Pemahaman awam yang sering
disalah artikan dalam ranah aqidah ialah pandangan tauhid hanya berorientasi
pada hubungan manusia untuk membebaskan dirinya dari tuhan palsu yang lain. Artinya,
para kaum muslimin harus meninggalkan kebiasan tunduk dan patuh pada tuhan
selain tuhan yang telah digambarkan dalam kitab suci Al Qur’an. Dan pandangan
dualisme adalah musuh.
Pandangan tauhid tidak hanya
berorientasi pada persoalan itu, pandangan ini harus juga diaplikasikan pada
ranah sosio kultural. Dengan pandangan ini, dualisme atau pembagian golongan
masyarakat secara besar dan sempit haruslah dianggap sebagai syirik yang patut
dibasmi seperti patung berhala pada orientasi ketuhanan.
Saya membaca, dewasa ini, kaum
muslimin hanya berpusat pada pandangan tauhid ketuhanan semata, sehingga melupakan
bahwa dalam struktur sosial-dualisme lebih membahayakan lagi dampaknya. Perselisihan,
perang dan penindasan dalam agama sendiri bukan kah disebabkan bukan pada ranah
kepemilikan pribadi, tetapi lebih dari itu, ummat mnausia lebih buta memandang
perbedaan keadilan sebagai cikal bakal pertikaian.
Makassar, 10 Desember 2017
Makassar, 10 Desember 2017
December 10, 2017
0 comments:
Post a Comment