C.S Peirce

Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.
Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan menggairahkan.
Ferdinand De Saussure
Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand De
Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian
(dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat
sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang
pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau
nilai-nlai yang terkandung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika
Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa
disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang
mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau
konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda
tersebut.
Menurut Saussure, tanda terdiri dari:
Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan konsep-konsep
dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi,
seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain
akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut
“referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk
signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai
referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan.
Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat
maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut
Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan,
seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006).
Roland Barthes
Roland Barthes
Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes
(1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2
tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah
tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,
menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya
beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Yusita
Kusumarini,2006).
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure.
Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk
kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat
yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut
dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural
penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami
dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of
signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi
(makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah
titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan
istilah signifier-signified yang diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi “keramat” karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi “keramat” ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.
Baudrillard
Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di
mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk
pada realitas yang sudah ada, tidak mempunyai sumber otoritas yang diketahui.
Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup dalam apa yang disebutnya
hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan, tepatnya tiruan
dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur, 2006).
Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang
kemudian menenggak sebutir pil multivitamin, seketika pria tersebut memiliki
energi yang luar biasa, mampu mengerek sebuah truk, tentu hanya ‘mengada-ada’.
Karena, mana mungkin hanya karena sebutir pil seseorang dapat berubah kuat luar
biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan pesan produk sebagai
multivitamin yang memberi asupan energi tambahan untuk beraktivitas sehari-hari
agar tidak mudah capek. Namun, cerita iklan dibuat ‘luar biasa’ agar konsumen
percaya. Inilah tipuan realitas atau hiperealitas yang merupakan hasil
konstruksi pembuat iklan. Barangkali kita masih teringat dengan pengalaman masa
kecil (entah sekarang masih ada atau sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional
melihat atraksi seorang penjual obat yang memamerkan hiburan sulap kemudian
mendemokan khasiat obat di hadapan penonton? Padahal sesungguhnya atraksi
tersebut telah ‘direkayasa’ agar terlihat benar-benar manjur di hadapan
penonton dan penonton tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya.
J. Derrida
Derrida terkenal dengan model semiotika
Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif
untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang
baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep demistifikasi,
pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian
realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda
(siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology,
Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni,
karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994
dalam Sobur, 2006: 100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik
secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai
medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan
sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip.
Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang
permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.
Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya.
Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi, ‘berpengalaman’, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya temporer.Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai ‘fokus ke atas’ yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut menawarkan kekhidmatan yang indah yang ‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhan-nya secara khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa.
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.
Umberto Eco
Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja tersebut cenderung ‘sesat’ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya.
Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai ‘klasik’ yang menandakan kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi, ‘berpengalaman’, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya temporer.Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan sebagai ‘fokus ke atas’ yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut menawarkan kekhidmatan yang indah yang ‘mempertemukan’ jemaat dan Tuhan-nya secara khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa.
Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan (“menghancurkan” atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas.Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.
Umberto Eco
Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco
sebagai ahli semiotikan yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang
paling komprehensif dan kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting
karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa
semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).
Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan
menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda.
Eco kemudian mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco
menyimbulkan bahwa “satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar,
melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur independen (yang berasal dari
dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan
bertemu atas dasar hubungan pengkodean”. Eco menggunakan “kode-s” untuk
menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda
suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling
radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat “denotatif”
(bila suatu pernyataan bisa dipahami secara harfiah), atau “konotatif” (bila
tampak kode lain dalam pernyataan yang sama). Penggunaan istilah ini hampir
serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan pemahaman tentang
suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang ditemukan dalam teori
Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa kini.
Ogden & Richard
Teori Semiotika C. K. Ogden dan I. A. Richard
merupakan teori semiotika trikotomi yang dikembangkan dari Teori Saussure dan
Teori Barthes yang didalamnya terdapat perkembangan hubungan antara Petanda
(signified) dengan Penanda (signifier) dimana Penanda kemudian dibagi menjadi
dua yaitu Peranti (Actual Function/Object Properties) dan Penanda (signifier)
itu sendiri. Petanda merupakan Konotasi dari Penanda, sedangkan Peranti
merupakan Denotasi dari Penanda. Pada teori ini Petanda merupakan makna,
konsep, gagasan, sedang Penanda merupakan gambaran yang menjelaskan peranti,
penjelasan fisik obyek benda, kondisi obyek/benda, dan cenderung (tetapi tidak
selalu) berupa ciri-ciri bentuk, ruang, permukaan dan volume yang memiliki
suprasegmen tertentu (irama, warna, tekstur, dsb) dan Peranti merupakan wujud
obyek/benda/fungsi aktual (Christian).
January 06, 2018
0 comments:
Post a Comment