Bugis adalah salah
satu kelompok etnik di Indonesia. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000,
jumlah orang Bugis di seluruh Indonesia mencapai 2.59 persen dari seluruh
populasi di Indonesia (Indonesian Embassy Bangkok Online)
Orang Bugis biasanya
sering dijumpai di kepulauan Sulawesi, terkhususnya Sulawesi Selatan. Orang Bugis
biasanya suka berdagang dan berpindah-pindah ke daerah lain untuk berdagang
atau untuk melakukan kerja sama dengan pihak lain. Bahkan tidak jarang dari
mereka menetap di tempat lain dan mendirikan perkampungan sendiri di daerah
lain seperti yang ada di pulau jawa dan Afrika.
Orang Bugis pada
umumnya suka berpindah-pindah dan berkelana, maka tidak heran orang Bugis sudah
ada diseluruh dunia ini. Bahasa Bugis juga merupakan bahasa yang paling umum
disebutkan bagi bahasa yang ada di Sulawesi Selatan. Bahkan dari ke empat etnis
Makassar, Bugis, Mandar dan Toraja, bahasa Bugis adalah bahasa yang paling
besar dan banyak penduduknya.
Seks ata gender pasti
berbicara tentang laki-laki dan perempuan. Berbicara tentang gender dalam suku
bugis bukanlah perkara mudah, karena status social mereka berubah-ubah seiring
dengan aktifitas kegiatan atau tempat. Gender adalah kesetaraan aantara laki-laki
dan perempuan, tetapi menurut segaian orang laki-laki dan perempuan dari dulu
sampai sekarang tetaplah berbeda dan tak mungkin sama, karena perempuan
melahirkan, memiliki vagina, rahim,menyusui, dan lain-lain, sedangkan laki-laki
berjenggot, memiliki venis, dan lain-lain. Bukan hanya secara fisik mereka
berbeda tetapi dari segi psikis pun mereka berbeda.
Secara umum, beberapa
ahli bahasa dan gender sudah mengemukakan adanya perbedaan gender dalam bahasa.
Perempuan memilki cirri khas tersendiri dalam berkomunikasi baik dalam
komunikasi verbal maupun komunikasi nonverbal. Lakoff (1996) pelopor pertama
dalam penelitian bahasa dan gender, terutama dalam pemakaina bahasa Inggris di
Negara-Negara Barat, misalnya mengatakan bahwa perempuan dalam berkomunikasi
cenderung menggunakan intonasi tinggi, bentuk bahasa yang sangat ssopan, lebih
banyak empati, dan pertanyaan.
Vanfossen (2001:2)
mengungkakan bahwa laki-laki terkenal dengan sikap agresifnya (member) dan
sifat aktifnya dan sebaliknya perempuan dikenal dengan sifat non-agresifnya
(menerima) dan sifat pasifnya, terutama dalam konteks pembicaraan yang
melibatkan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga dapat terlihat bahwa
umumnya, daerah komunikatif perempuan
lebih banyak pada aspek prifat (private
sphere) seperti dalam lingkungan informall, sedangkan daerah komunikatif
laki-laki adalah pada aspek public (public
sphere).
Kebebasan masih tetap
dinikmati oleh perempuan bugis melalui perannya yang bersifat komplementer
walauoun berbeda (Pelras, 1996:160). Sehingga tidak mengherankan jika banyak
perempuan bugis yang melibatkan diri dalam kegiatan public, yang umumnya
didominasi oleh kaum laki-laki.
Pada kenyataanya,
wanita di Sulawesi Selatan juga memiliki status sosial yang tinggi berdasarkan
kepercayaan mereka bahwa penguasa pertama di Sulawesi adalah seorang perempuan.
(Baso and Idrus, 2002:199) .
Meskipun demikian
masih banyak perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat bugis.
Mattulada, juga pernah mengatakan bahwa peran perempuan dalam pangngaderreng seperti yang didapatkan
dalam lontara’ latoa dikatakan bahwa
laki-laki dan perempuan bisa memperoleh kesamaan hak, akan tetapi pendapat
perempuan hanya bisa dipakai sebagai pelengkap dan bukan sebagai putusan akhir.
Ini disebabkan karena perempuan memiliki kelemahan fisik dan psikis (1995:440)
Dalam masyarakat kehidupan
bugis, bagi perempuan daerah jangkauan perempuan hanya sebatas rumah saja,
sedangkan laki-laki berada pada jangkauan luas bahkan sampai di langit
sekalipun. Hal ini menjadikan perempuan merasa tak mampu melakukan apa-apa
selain hanya memasak dirumah, mencuci dan dikasur. Aktifitas sehari-hari juga
mempengaruhi kemampuan perempuan, perempauan yang hanya keadannya dirumah
cenderung melahirkan perempuan yang malas dan tak mampu berkerja seperti
pekerjaan lapangan yang tengah sering dikerjakan laki-laki.
Ada lima hal yang menurut Jayadi
(2002:1-2) adalah tugas dan kewajiban seorang wanita
1.
Mancaji
makkunrai, yaitu perempuan harus mememlihara dirinya agar terhindar dari rasa
malu.
2.
Mancaji
missing dapureng, yaitu perempuan yang ditekankan harus pindar di dapur dan
melaksanakan tugas-tugas rumah tangga.
3.
Mancaji
imattaro, yaitu menjadi pengelola keuangan atau penyimpanan uang, membelanjkan
segala yang berkaitan dengan kebutuhan rumah tangga dengan teratur.
4.
Mancaji
baliperi, yaitu menjadi penda mping setia bagi suaminya dalam suka maupun duka
sampai ajal memisahkan.
5.
Mancaji
sirupa’, yaitu perempuan harus bersifat layaknya perempuan yang suka berdandan
dan anggun.
Pemahaman perempuan
yang harus menjadi anggun, malabbi, lemah gemulai, dan bersuara rendah
menjadikan perempuan sangat lemah dan tak mampu berbuat banyak.selebihnya
laki-laki harus menunjukkan kejantanananya atau keperkasaannya yang membuat dia
menjadi tinggi dihadapan perempuan atau laki-laki lain.
January 05, 2018
0 comments:
Post a Comment