(Prosesi
adat Pembuatan dan Peluncuran Perahu Phinisi)
Alasan
mengapa Makkebu Phinisi dikatakan sebuah kebudayaan ? Pinisi, sebagai salah
satu identitas Orang Bugis, jika dicermati secara saksama, khususnya dalam
proses pembuatannya, mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan
dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu, antara lain: kerjasama, kerja
keras, ketelitian, keindahan, dan religius.
Nilai
kerjasama tercermin dalam hubungan antara punggawa (kepala tukang atau tukang
ahli), para sawi (tukang-tukang lainnya) dan calon-calon sawi serta
tenaga-tenaga yang lainnya. Masing-masing mempunyai tugas tersendiri. Tanpa
kerjasama yang baik antar mereka, perahu tidak dapat terwujud dengan baik.
Bahkan, bukan hal yang mustahil perahu tidak pernah terwujud.
Nilai
kerja keras tercermin dalam pencarian dan penebangan kayu welengreng atau
dewata yang tidak mudah karena tidak setiap tempat ada. Penebangannya pun juga
diperlukan kerja keras karena masih menggunakan peralatan tradisional (bukan
gergaji mesin). Nilai ini juga tercermin dalam pemotongannya yang tidak boleh
berhenti sebelum selesai (terpotong) dan pemasangan atau perakitannya yang
membutuhkan kerja keras. Selain itu, nilai ini juga tercermin dalam pendempulan
dan peluncuran karena untuk memindahkan perahu dari galangan bukan merupakan
hal yang mudah atau ringan, tetapi diperlukan kerja keras yang membutuhkan
waktu beberapa hari (sekitar 3 hari atau lebih).
Nilai
ketelitian tercermin dalam pemotongan kayu yang harus tepat (mata kampak atau
gergaji harus tepat pada arah urat kayu). Nilai keindahan dari bentuknya yang
bentuknya yang sedemikian rupa, sehingga tampak kuat, gagah, dan indah.
Nilai
religius tercermin dalam pemotongan pohon yang disertai dengan upacara agar
“penunggunya” tidak marah dan pindah ke tempat lain, sehingga segala sesuatu
yang tidak diinginkan tidak terjadi. Nilai ini juga tercermin dalam doa ketika
perahu akan diluncurkan ke laut (“Bismillahir Rahmanir Rahim Bulu-bulunnako
buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, laku sareang Nabi
Haidir”) (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Kau adalah
bulu-bulunya tanah, tumbuh karena hujan, kayu dari kekayuan dari Mukma-nul
Hakim saya percaya Nabi Haidir untuk menjagamu).
Phinisi adalah
kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan
Suku Makassar di Sulawesi Selatan tepatnya dari desa Bira kecamatan Bonto
Bahari Kabupaten Bulukumba. Pinisi sebenarnya merupakan nama layar. Kapal ini
umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di
ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan untuk
pengangkutan barang antarpulau. Dua tiang layar utama tersebut berdasarkan 2
kalimat syahadat dan tujuh buah layar merupakan jumlah dari surah Al-Fatihah.
Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar dengan
dua tiang dengan tujuh helai layar yang dan juga mempunyai makna bahwa nenek
moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di dunia.
Ritual Pembuatan
Biasanya,
para pengrajin harus menghitung hari baik untuk memulai pencarian kayu sebagai
bahan baku pembuatan perahu phinisi. Hari baik itu biasanya jatuh pada hari
kelima dan hari ketujuh pada bulan yang berjalan. Angka 5 (naparilimai
dalle'na) yang artinya rezeki sudah di tangan, sedangkan angka 7 (natujuangngi
dalle'na) berarti selalu memperoleh rezeki. Setelah mendapat hari baik, kepala
tukang yang disebut "punggawa" kemudian memulai memimpin pencarian
kayu. Pada hari tersebut, perajin akan mengumpulkan kayu dan bahan baku
lainnya. Proses pembuatan kapal pinisi di Tana Beru terorganisasi dengan baik,
dan ada seseorang yang mengepalai proses produksi tersebut. Badan kapal pinisi
adalah kayu, oleh sebab itu perajin perlu menebang pohon untuk membuatnya.
Penebangan tidak boleh dilakukan sembarangan.
Ada
serangkaian upacara yang akan dilakukan oleh para perajin untuk mengusir roh
yang menunggui kayu tersebut. Di dalam ritual, biasanya anak ayam dijadikan
sesaji untuk diberikan kepada roh penghuni kayu tersebut. Kemudian setelah
ritual selesai, para perajin Tana Beru akan mulai menebangi pohon tersebut
dengan gergaji. Pekerjaan ini harus dilakukan secara terus-menerus hingga
selesai. Itulah mengapa pembuatan perahu pinisi memerlukan orang-orang kuat di belakangnya.Balok
di bagian depan biasanya akan dilarung ke laut, ini sebagai simbol penolak
bala. Sedangkan balok di bagian belakang di simpan di rumah, merupakan simbol
istri pelaut yang selalu setia untuk menunggu sang suami pulang. Ada sekitar
126 lembar papan yang dipakai untuk membuat dasar perahu pinisi.Papan-papan
disusun sedemikian rupa hingga rapat dan kokoh, kemudian dilanjutkan dengan
pemasangan buritan atau tempat kemudi. Setelah badan perahu selesai dikerjakan,
proses berikutnya adalah memasukkan majun ke dalam sela papan. Ini bertujuan
untuk memperkuat sambungan papan-papan tersebut. Pelekat yang dipakai juga
sangat sangat alami, yakni dari kulit pohon barruk. Setelah proses ini selesai,
dilanjutkan dengan pemdepulan dengan campuran minyak kelapa dan kapur. Ciri
khas dari perahu pinisi adalah 2 tiang agung atau disebut dengan sokuguru dan
layar yang membentang lebar.
Pada
saat peletakan lunas, juga harus disertai prosesi khusus. Saat dilakukan
pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan
merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai
simbol wanita. Usai dimanterai, bagian yang akan dipotong ditandai dengan
pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa
boleh berhenti. Itu sebabnya untuk melakukan pemotongan harus dikerjakan oleh
orang yang bertenaga kuat. Demikian selanjutnya setiap tahapan selalu melalui
ritual tertentu.
Tolak Bala
Acara
peluncuran perahu phinisi berukuran jumbo di Pantai Panrang Luhu, Desa Bira,
Kecamatan Bontobahari, Bulukumba, seperti biasanya, diawali dengan prosesi
ritual adat.Sebagaimana biasa pula, ritual adat dimulai dengan upacara appasili
atau tolak bala. Untuk kelengkapan upacara appasilisebelumnya telah disiapkan
seikat dedaunan yang terdiri dari daun sidinging, sinrolo, taha tinappasa, taha
siri, panno-panno yang diikat bersama pimping. Selain itu, juga disiapkan
kue-kue tradisional seperti gogoso', onde-onde, songkolo', cucuru', dan
lain-lain.
Upacara
dimulai tepat pada pukul 21.00 wita. Pembuat kapal dan sanro (dukun), serta
tamu khusus dan tokoh masyarakat duduk berhadap-hadapan di atas geladak kapal
mengelilingi kelengkapan upacara yang akan dipakai dalam upacara appasili.
Tak
lama kemudian, terlihat mulut sanro berkomat-kamit membacakan
mantera-manterasongkabala atau tolak bala. Di depan sang sanro terdapat sebuah
wajan yang berisi air (dari mata air) dan seikat dedaunan untuk membacakan
mantera dengan khidmat dan khusuk. Air tersebut kemudian dimantera-manterai
sambil diaduk-aduk dengan menggunakan seikat dedaunan yang telah dipersiapkan
sebelumnya. Setelah pembacaan mantera selesai, tersebut dipercikkan ke
sekeliling perahu dengan cara dikibas-kibaskan dengan ikatan dedaunan tadi.
Setelah upacara selesai, kemudian para tamu dijamu dengan penganan tradisional.
Prosesi Ritual Ammossi
Puncak
acara ritual adalah ammossi, yakni penetapan dan pemberian pusat pada
pertengahan lunas perahu yang selanjutnya akan dilakukan penarikan perahu ke
laut. Pemberian pusat ini berdasar pada kepercayaan bahwa perahu adalah “anak”
punggawa / panrita lopi (pembuat perahu). Berdasar pada kepercayaan itu, maka
upacara ammossi merupakan simbolisasi pemotongan tali pusar bayi yang baru
lahir.
Sebelum
prosesi ammossi dilakukan, seluruh kelengkapan upacara disiapkan di sekitar
pertengahan lunas perahu yang merupakan tempat upacara. “Punggawa” atau pembuat
perahu berjongkok di sebelah pertengahan lunas perahu berhadapan dengan sanro.
Tak lama kemudian mulut sanro berkomat-kamit membacakan mantera sambil membakar
kemenyan. Selesai membaca mantera, sang sanro membuat lubang di
tengahkalabiseang, selanjutnya kalabiseang dibor sampai tembus ke sebelah kanan
lunas perahu.
Setelah
prosesi ammossi selesai, dimulailah ritual penarikan perahu ke tengah laut. Prosesi
ini dahulunya memanfaatkan tenaga manusia yang sangat banyak untuk menarik
perahu ke laut, namun karena tonase perahu sangat berat, prosesi ini sudah
menggunakan peralatan yang lebih “modern”, yaitu katrol. Pada prosesi
peluncuran malam itu, penarikan perahu phinisi menggunakan katrol dan rantai
sebagai simbolisasi penarikan perahu. Perahu yang ditarik sudah dianggap masuk
ke laut jika badan perahu telah menyentuh air laut.
Jenis Perahu Phinisi
Ada
dua jenis perahu phinisi, yaitu Lamba atau Lambo dan Palari. Phinisi jenis
lamba atau lambo adalah perahu phinisi modern yang masih bertahan sampai saat
ini dan sekarang dilengkapi dengan motor diesel (PLM), sedangkan perahu phinisi
jenis palari adalah bentuk awal perahu phinisi dengan lunas yang melengkung dan
ukurannya lebih kecil dari jenis Lamba.
Dari
proses pembuatan ini tergambar beberapa bagian perahu pinisi yang memiliki
fungsi dalam menggerakkan kapal. Bagian-bagian tersebut antara lain :
1. Anjong, (segi tiga penyeimbang) berada
pada bagian depan kapal.
2.
Sombala (layar utama) berukuran
besar
3.
Tanpasere (layar kecil) berbentuk
segitiga ada di setiap tiang utama.
4.
Cocoro pantara (layar bantu depan).
5.
Cocoro tangnga (layar bantu tengah.
6.
Tarengke (layar bantu di belakang)
Informasi Tambahan
RITUAL ADAT. Acara peluncuran
perahu phinisi berukuran jumbo di Pantai Panrang Luhu, Desa Bira, Kecamatan
Bontobahari, Bulukumba, seperti biasanya diawali dengan prosesi ritual adat.
January 06, 2018
0 comments:
Post a Comment