Monday, January 8, 2018

Takfirisme, (BUKAN) Produk islam?

Posted by with No comments


Sebuah Pemikiran Dr. Haidar Bagir
Related image
Setelah mengkaji lebih dalam pemikiran Dr. Haidar Bagir dalam bukunya "Islam Tuhan Islam Manusia" amat menarik untuk  didiskusikan istilah judul buku ini. islam  dibagi menjadi dua, yaitu islam dalam naungan tuhan dan islam dalam perspektif manusia secara relatif. istilah ini, memunculkan perbedaan interpretasi mengenai maksud istilah tersebut, disamping seorang penulis cukup sederhana dengan menggambarkan istilah tersebut bagi manusia yang cenderung selalu merelatifkan penafsiran tetapi enggan untuk menerima kerelatifan lain atas penafsirannya pada islam.
Disinilah letak problematika itu, yaitu pada islam manusia. sesungguhnya islam yang paling benar dan mutlak adalah islam yang berasal atau yang berada pada sisi Tuhan, seperti dalam Al Quran menjelaskan "Sesungguhnya agama yang berada disisi Allah itu ialah islam", ada islam yang berada pada sisi Tuhan yang diturunkan pada manusia melalui nabi-Nya dan setelah proses ini islam bertransformasi menjadi relatif, atau islam dalam perspektif manusia yang biasa sering diistilahkan dengan mazhab.
Bukan menjadi persoalan jika islam itu dimaknai melalui mazhab, justru islam karena kebesaran kebenarannya merangkul semua kebenaran yang relatif pada manusia, seperti ungkapan Jalaluddin  Rumi bahwa "Kebenaran tuhan itu bagaikan cermin, dan cermin itu jatuh ke bumi menjadi pecahan yang  beraneka ragam". sesungguhnya kebenaran Tuhan itu amat luas, tetapi dengan penafsiran yang relatif antar manusia kebenaran tuhan itu kemudian menjadi sempit.
Melalui fenomena penafsiran kerelatifan ini, tentu masing-maing para mujtahid berhak untuk menafsirkan teks-teks islam dengan cara apapun yang seperti disebut Ibnu Arabi, "penafsiran atas ayat suci itu bisa sampai sebanyak jumlah manusia yang lahir mulai dari nabi Adam sampai hari kiamat". jadi tentu penafsiran atau ijtihad seseorang pada teks Al Quran menjadi hak atas dirinya,. sebab kebenaran tuhan itu sangatlah luas.
Kendati demikian, melalui penafsiran yang relatif (Mazhab) dari beberapa ulama atau cendekiawaan muslim atau juga kelompok tertentu kini fanatik dengan penafsirannya sendiri, dalam beberapa kasus cenderung menyalahkan, mengkafiran, bahkan menuduh sebagai ahli bid'ah atas mazhab lain yang tidak sejalan dengan cara penafsirannya atas islam. inilah yang disebut sebagai takfirisme. yaitu saling mengkafirakn dan menjelekkan penafsiran lain  yang berbeda dengan kelompok atau penafsirannya. islam kini menjadi sempit. Tuhan kini menjadi kecil.
Atas kecenderungan takfirisme tersebut yang menggorogoti kebersatuan ummat, mungkinkan takfirisme itu adalah produk atau ajaran islam Tuhan? dengan demikian kita mampu menerima atau bahkan menolak fenomena takfirisme ini yang cukup populer dikalangan ummat. dengan mempelajari ajaran penting islam, yaitu Tauhid, menjadikan segala sesuatu adalah satu kesatuan yang berasal dari tuhan. jelas ini Takfirisme bukan ajaran tuhan. agama diutus kepada manusia atas kebutuhan manusia itu sendiri untuk mencapai kebahagiaan tanpa mengenal status dan golongan dalam masyarakat. jika takfirisme adalah ajaran yang memusuhi sesama makhluk tuhan tentu ini bukan menjadi bagian tujuan agama itu diturunkan.
Dengan memahami esensi dan tujuan agama diturunkan pada manusia, haruslah dipahami bahwa orang yang beragama akan selalu membawa kebahagiaan atas manusia lain apapun mazhab dan golongannya. ini tentu menjadi perintah dan tujuan agama itu diturunkan, bukan malah menjadi peneror atau penebar ancaman dan ketakutan karena persoalan perbedaan penafsiran dan jalan kita menuju tuhan.
Perlu kita pahami agama dan syariat seperti itu apa? kita satu agama, tetapi dengan syariat kita berbeda jalan menuju pada Tuhan. jalan Tuhan itu sangatlah luas dan lurus, sehingga kerelatifan atas penafsiran pun sangatlah memungkinan berada pada jalan yang lurus itu. perbedaan adalah produk asli tuhan pada setiap makhluknya agar kita mampu memahami perbedaan lain.
Dewasa ini, penyakit takfirisme bukan hanya dipraktikkan oleh kalangan masyarakat awam, tetapi juga dipraktikkan oleh para kyai dan ulama yang mengaku sebagai orang yang kembali pada esensi tuhan yang sebenarnya. tidak peduli seberapa panjang jenggot, dan seberapa panjang juga surbannya, ia tak berhak untuk memaksanakan cara penafsirannya pada kelompok lain sesuai dengan caranya memahami agama. sebab tuhan tak pernah memberikan mandat pada kita untuk mampu mengkafirkan dan menyalahkan kelompok lain secara bebas. ini tentu tugas dan tanggung jawab tuhan atas hambnya, bukan pada tugas dan peran manusia.
melalui pembacaan ini, jelas takfirisme bukanlah produk islam atau ajaran islam sendiri, justru adalah hal yang mesti kita hindari. agama diturunkan untuk menjaga manusia dengan akhlak mulia pada sesama. pengkafiran ini justru akn memecah belah ummat, sedangkan kita diperintahkan untuk mengutamakn persatuan dalam menjalankan amar ma'ruf dan melawan kemungkaran (Ali Imran 103-104).

0 comments:

Post a Comment