Sunday, December 10, 2017

Pertarungan Kelas dalam Perspektif Islam

Posted by with No comments
Meniti lebih jauh kedalam suasana ketika para penyerang melancarkan aksinya didepan seluruh masyarakat dan merasa benar seperti sedang melawan kemungkaran. Padahal yang mereka serang adalah saudara yang selalu dikalim sebagai sedarah dalam kenyakinan dan berbangsa.
Malan ini hujan, biasanya makhluk melata yang gembira dengan ini muncul dari dalam tanah, turun dari sela-sela bangunan, berjalan dan sesekali menakuti para penghuni rumah dengan teriakan menggelikan. Saat itu, kumpulan kata ini ditulis dan seekor kucing lewat depan pintu kamar yang terbuka. Juga sedikit guyuran butir hujan yang masih bertahan.
Saya masih percaya bahwa dalam sastra selalu diceritakan tokoh protagonis melahirkan konflik dengan tokoh lain. Setiap cerita melahirkan konflik yang berbeda berdasarkan selisih perbedaan dari kedua tokoh. Lantas bagaimana mereka menyelesaikan konflik itu? Kadangkala mereka saling menjatuhkan dan bertikai. Juga saling memusuhi dalam setiap ranah. Sering kali berujung pada konflik besar yang membawa cerita pada jatuhnya salah satu tokoh. Maka konflik dan cerita selesai.
Benarkan dalam penmyelesaian konflik diharuskan ad salah satu pemain yang harus gugur dan tewas bersimbah darah dengan kekalahan dan akan disebut sebagai resolusi? Amat bodoh mungkin jika saya mengambil analogi sederhana dari sebuah karya sastra, tetapi dengan meminjam teori mimetik, karya sastra cenderung melahirkan gambaran tentang dunia. Manusia pada mulanya takut mengkritik para penguasa dengan ancaman yang mengerikan, tetapi dari kekuasaan itulah lahir para tokoh dalam golongan kaum marginal sadar dan menentang penguasa dengan cara yang cukup kreatif. Para pengarang klasik meminjam pengalaman sosial yang amat buruk sebagai inspirasi cerita dari karyanya, itulah yang menyebabkan beberapa karya klasik bernilai tinggi dan dianggap sebagai karya fenomenal. Begitulah cara mereka melawan, yakni dengan sastra.
Jika hari ini para sastrawan terlahir dengan aliran mimetiknya, mungkin mereka akan melahirkan karya yang penuh dengan pertikaian dan agama. Sebab dinegara ini pertarungan tentang perbedaan menjadi tema sentralnya, persoalan suku, agama dan ras. Cenderung mempertahankan dari golongan mana mereka berasal. Ada juga kelompok kedamaian menggusur lawan mereka dengan kekerasan yang berujung pada tangisan dan darah. Tetapi ia dibenarkan, sebab ia meneriakkan hak asasi manusia dan ucapan Allahu Akbar. Maka anarkisme mereka dianggap sebagai kesucian dan harus didukung dan dibenarkan.
Kendati demikian, sebagai seorang muslim yang berorientasi pada gerakan amar ma’ruf nahi mungkar haruslah ditafsirkan sebagai gerakan sosial untuk aksi. Sebab Al Quran mengajarkan tidak hanya pada persoalan halal dan haram semata, tetapi lebih dari pada itu, Islam meneriakkan kedamaian yang merata tanpa danya perbedaan kelas.
Perihal pertarungan kelas, dewasa ini Marxian lah ideoloi yang acap kali membahas tentang pertaruangan kelas. Dalam pemahaman pertaruangan kelas menurut Marxian, perbedaan kelas dibedakan berdasarkan pada kepemilikan alat pribadi. Meskipun dalam arena pertarungan-kelas proletar tidak mampu memungkiri dirinya untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada mereka yang memiliki alat pribadi.
Modernitas yang mulai merambah dunia dewasa ini tidak terlepas dari peranan industrianisme secara besar-besaran. Sebagai arus yang sulit dibendung, pemilik alat produksi beraksi dengan dalih mampu menyelesaikan pekerjaan sehari menjadi satu jam, pekerjaan ringan akan menjadi mudah dengan tawaran melenakan dari para pemiliki alat produksi, kendati demikian, iming-iming yang ditawarkan tidaklah hanya berorientasi pada urusan hablum minannas semata untuk membantu para petani membajak sawahnya atau menggiling hasil panennya dengan lebih cepat. Tetapi penundukan atas ketergantuangan pada alat produksi tersebut melahirkan sistem yang disebut sebagai sistem kapitalisme dewasa ini.
Selain berbicara tentang ideologi Marxian, pertarungan kelas dalam islam tidaklah sama dengan pengenalan pertaruangan kelas ala Marxis, kendati pertarungan pada Marxian lebih fokus kepada perbedaan yang dilahirkan dari proses kepemilikan pribadi alat produksi, islam cenderung berosientasi pada persoalan keadilan sebagai perbedaan kelas, jadi dalam islam kaum tertindas (Mustadh’afin) adalah mereka yang tidak mendapat keadilan dalam struktur sosial masyarakat, sedangkan kaum penindas (Dzalim) adalah mereka yang suka menindas dan melakukan ketidak adilah secara merata.
Lalu apa peran islam memandang pertarungan ini?, perlukah islam juga memperjuangkan sistem pertarungan ala marxian? Sedangkan islam juga punya ranah pertarungan yang mesti dibela tidak hanya pada persoalan kepemilikian pribadinya, dalam paradigma islam-memandang pertarungan pada ranah marxian itu sempit. Apakah kaum yang harus dibelah adalah mereka yang menyebut dirinya sebagai kaum buruh dan lawan rivalnyta adalah kapitalisme sedangkan yang mesti diperjuangkan tidak sesempit ranah itu.
Seperti yang telah dijalani Muhammad, islam tidak mempersoalkan istilah kepemilikan pribadi, selama ia masih adil dan menjunjung keadilan, maka hal itu diperbolehkan. Tetapi, ada ranmh yang lebih mendesak untuk dituntaskan kaum muslimin dewasa ini, ialah persoalan perbedaan kelas dari sudut pandang keadilan.
Ketidak adilan merupakan sistem pembedaan golongan masyarakat. Inilah yang saya sebut sebagai dualisme sosial, sebagai bentuk pembedaan yang signifikan dan praktikal dalam struktur. Bukan kah islam memandang manusia sebagai suatu kesatuan yang utuh, sebab kita lahir dari manusia yang sama, ialah keturunan Adam.
Pemahaman awam yang sering disalah artikan dalam ranah aqidah ialah pandangan tauhid hanya berorientasi pada hubungan manusia untuk membebaskan dirinya dari tuhan palsu yang lain. Artinya, para kaum muslimin harus meninggalkan kebiasan tunduk dan patuh pada tuhan selain tuhan yang telah digambarkan dalam kitab suci Al Qur’an. Dan pandangan dualisme adalah musuh.
Pandangan tauhid tidak hanya berorientasi pada persoalan itu, pandangan ini harus juga diaplikasikan pada ranah sosio kultural. Dengan pandangan ini, dualisme atau pembagian golongan masyarakat secara besar dan sempit haruslah dianggap sebagai syirik yang patut dibasmi seperti patung berhala pada orientasi ketuhanan.
Saya membaca, dewasa ini, kaum muslimin hanya berpusat pada pandangan tauhid ketuhanan semata, sehingga melupakan bahwa dalam struktur sosial-dualisme lebih membahayakan lagi dampaknya. Perselisihan, perang dan penindasan dalam agama sendiri bukan kah disebabkan bukan pada ranah kepemilikan pribadi, tetapi lebih dari itu, ummat mnausia lebih buta memandang perbedaan keadilan sebagai cikal bakal pertikaian.

Makassar, 10 Desember 2017

0 comments:

Post a Comment