Friday, January 5, 2018

Pengaruh Gender dalam Bahasa Masyarakaat Bugis

Posted by with No comments


Gambar terkait
Bugis adalah salah satu kelompok etnik di Indonesia. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, jumlah orang Bugis di seluruh Indonesia mencapai 2.59 persen dari seluruh populasi di Indonesia (Indonesian Embassy Bangkok Online)
Orang Bugis biasanya sering dijumpai di kepulauan Sulawesi, terkhususnya Sulawesi Selatan. Orang Bugis biasanya suka berdagang dan berpindah-pindah ke daerah lain untuk berdagang atau untuk melakukan kerja sama dengan pihak lain. Bahkan tidak jarang dari mereka menetap di tempat lain dan mendirikan perkampungan sendiri di daerah lain seperti yang ada di pulau jawa dan Afrika.
Orang Bugis pada umumnya suka berpindah-pindah dan berkelana, maka tidak heran orang Bugis sudah ada diseluruh dunia ini. Bahasa Bugis juga merupakan bahasa yang paling umum disebutkan bagi bahasa yang ada di Sulawesi Selatan. Bahkan dari ke empat etnis Makassar, Bugis, Mandar dan Toraja, bahasa Bugis adalah bahasa yang paling besar dan banyak penduduknya.
Seks ata gender pasti berbicara tentang laki-laki dan perempuan. Berbicara tentang gender dalam suku bugis bukanlah perkara mudah, karena status social mereka berubah-ubah seiring dengan aktifitas kegiatan atau tempat. Gender adalah kesetaraan aantara laki-laki dan perempuan, tetapi menurut segaian orang laki-laki dan perempuan dari dulu sampai sekarang tetaplah berbeda dan tak mungkin sama, karena perempuan melahirkan, memiliki vagina, rahim,menyusui, dan lain-lain, sedangkan laki-laki berjenggot, memiliki venis, dan lain-lain. Bukan hanya secara fisik mereka berbeda tetapi dari segi psikis pun mereka berbeda.
Secara umum, beberapa ahli bahasa dan gender sudah mengemukakan adanya perbedaan gender dalam bahasa. Perempuan memilki cirri khas tersendiri dalam berkomunikasi baik dalam komunikasi verbal maupun komunikasi nonverbal. Lakoff (1996) pelopor pertama dalam penelitian bahasa dan gender, terutama dalam pemakaina bahasa Inggris di Negara-Negara Barat, misalnya mengatakan bahwa perempuan dalam berkomunikasi cenderung menggunakan intonasi tinggi, bentuk bahasa yang sangat ssopan, lebih banyak empati, dan pertanyaan.
Vanfossen (2001:2) mengungkakan bahwa laki-laki terkenal dengan sikap agresifnya (member) dan sifat aktifnya dan sebaliknya perempuan dikenal dengan sifat non-agresifnya (menerima) dan sifat pasifnya, terutama dalam konteks pembicaraan yang melibatkan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga dapat terlihat bahwa umumnya, daerah komunikatif  perempuan lebih banyak pada aspek prifat (private sphere) seperti dalam lingkungan informall, sedangkan daerah komunikatif laki-laki adalah pada aspek public (public sphere).
Kebebasan masih tetap dinikmati oleh perempuan bugis melalui perannya yang bersifat komplementer walauoun berbeda (Pelras, 1996:160). Sehingga tidak mengherankan jika banyak perempuan bugis yang melibatkan diri dalam kegiatan public, yang umumnya didominasi oleh kaum laki-laki.
Pada kenyataanya, wanita di Sulawesi Selatan juga memiliki status sosial yang tinggi berdasarkan kepercayaan mereka bahwa penguasa pertama di Sulawesi adalah seorang perempuan. (Baso and Idrus, 2002:199) .
Meskipun demikian masih banyak perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat bugis. Mattulada, juga pernah mengatakan bahwa peran perempuan dalam pangngaderreng seperti yang didapatkan dalam lontara’ latoa dikatakan bahwa laki-laki dan perempuan bisa memperoleh kesamaan hak, akan tetapi pendapat perempuan hanya bisa dipakai sebagai pelengkap dan bukan sebagai putusan akhir. Ini disebabkan karena perempuan memiliki kelemahan fisik dan psikis (1995:440)
Dalam masyarakat kehidupan bugis, bagi perempuan daerah jangkauan perempuan hanya sebatas rumah saja, sedangkan laki-laki berada pada jangkauan luas bahkan sampai di langit sekalipun. Hal ini menjadikan perempuan merasa tak mampu melakukan apa-apa selain hanya memasak dirumah, mencuci dan dikasur. Aktifitas sehari-hari juga mempengaruhi kemampuan perempuan, perempauan yang hanya keadannya dirumah cenderung melahirkan perempuan yang malas dan tak mampu berkerja seperti pekerjaan lapangan yang tengah sering dikerjakan laki-laki.
Ada lima hal yang menurut Jayadi (2002:1-2) adalah tugas dan kewajiban seorang wanita
1.      Mancaji makkunrai, yaitu perempuan harus mememlihara dirinya agar terhindar dari rasa malu.
2.      Mancaji missing dapureng, yaitu perempuan yang ditekankan harus pindar di dapur dan melaksanakan tugas-tugas rumah tangga.
3.      Mancaji imattaro, yaitu menjadi pengelola keuangan atau penyimpanan uang, membelanjkan segala yang berkaitan dengan kebutuhan rumah tangga dengan teratur.
4.      Mancaji baliperi, yaitu menjadi penda mping setia bagi suaminya dalam suka maupun duka sampai ajal memisahkan.
5.      Mancaji sirupa’, yaitu perempuan harus bersifat layaknya perempuan yang suka berdandan dan anggun.
Pemahaman perempuan yang harus menjadi anggun, malabbi, lemah gemulai, dan bersuara rendah menjadikan perempuan sangat lemah dan tak mampu berbuat banyak.selebihnya laki-laki harus menunjukkan kejantanananya atau keperkasaannya yang membuat dia menjadi tinggi dihadapan perempuan atau laki-laki lain.


0 comments:

Post a Comment