Saturday, January 6, 2018

Makebbu lopi Phinisi

Posted by with No comments
Related image
(Prosesi adat Pembuatan dan Peluncuran Perahu Phinisi)
Alasan mengapa Makkebu Phinisi dikatakan sebuah kebudayaan ? Pinisi, sebagai salah satu identitas Orang Bugis, jika dicermati secara saksama, khususnya dalam proses pembuatannya, mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu, antara lain: kerjasama, kerja keras, ketelitian, keindahan, dan religius.
Nilai kerjasama tercermin dalam hubungan antara punggawa (kepala tukang atau tukang ahli), para sawi (tukang-tukang lainnya) dan calon-calon sawi serta tenaga-tenaga yang lainnya. Masing-masing mempunyai tugas tersendiri. Tanpa kerjasama yang baik antar mereka, perahu tidak dapat terwujud dengan baik. Bahkan, bukan hal yang mustahil perahu tidak pernah terwujud.
Nilai kerja keras tercermin dalam pencarian dan penebangan kayu welengreng atau dewata yang tidak mudah karena tidak setiap tempat ada. Penebangannya pun juga diperlukan kerja keras karena masih menggunakan peralatan tradisional (bukan gergaji mesin). Nilai ini juga tercermin dalam pemotongannya yang tidak boleh berhenti sebelum selesai (terpotong) dan pemasangan atau perakitannya yang membutuhkan kerja keras. Selain itu, nilai ini juga tercermin dalam pendempulan dan peluncuran karena untuk memindahkan perahu dari galangan bukan merupakan hal yang mudah atau ringan, tetapi diperlukan kerja keras yang membutuhkan waktu beberapa hari (sekitar 3 hari atau lebih).
Nilai ketelitian tercermin dalam pemotongan kayu yang harus tepat (mata kampak atau gergaji harus tepat pada arah urat kayu). Nilai keindahan dari bentuknya yang bentuknya yang sedemikian rupa, sehingga tampak kuat, gagah, dan indah.
Nilai religius tercermin dalam pemotongan pohon yang disertai dengan upacara agar “penunggunya” tidak marah dan pindah ke tempat lain, sehingga segala sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi. Nilai ini juga tercermin dalam doa ketika perahu akan diluncurkan ke laut (“Bismillahir Rahmanir Rahim Bulu-bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, laku sareang Nabi Haidir”) (Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Kau adalah bulu-bulunya tanah, tumbuh karena hujan, kayu dari kekayuan dari Mukma-nul Hakim saya percaya Nabi Haidir untuk menjagamu).
Phinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan tepatnya dari desa Bira kecamatan Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba. Pinisi sebenarnya merupakan nama layar. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau. Dua tiang layar utama tersebut berdasarkan 2 kalimat syahadat dan tujuh buah layar merupakan jumlah dari surah Al-Fatihah. Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang dan juga mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di dunia.
Ritual Pembuatan
Biasanya, para pengrajin harus menghitung hari baik untuk memulai pencarian kayu sebagai bahan baku pembuatan perahu phinisi. Hari baik itu biasanya jatuh pada hari kelima dan hari ketujuh pada bulan yang berjalan. Angka 5 (naparilimai dalle'na) yang artinya rezeki sudah di tangan, sedangkan angka 7 (natujuangngi dalle'na) berarti selalu memperoleh rezeki. Setelah mendapat hari baik, kepala tukang yang disebut "punggawa" kemudian memulai memimpin pencarian kayu. Pada hari tersebut, perajin akan mengumpulkan kayu dan bahan baku lainnya. Proses pembuatan kapal pinisi di Tana Beru terorganisasi dengan baik, dan ada seseorang yang mengepalai proses produksi tersebut. Badan kapal pinisi adalah kayu, oleh sebab itu perajin perlu menebang pohon untuk membuatnya. Penebangan tidak boleh dilakukan sembarangan.
Ada serangkaian upacara yang akan dilakukan oleh para perajin untuk mengusir roh yang menunggui kayu tersebut. Di dalam ritual, biasanya anak ayam dijadikan sesaji untuk diberikan kepada roh penghuni kayu tersebut. Kemudian setelah ritual selesai, para perajin Tana Beru akan mulai menebangi pohon tersebut dengan gergaji. Pekerjaan ini harus dilakukan secara terus-menerus hingga selesai. Itulah mengapa pembuatan perahu pinisi memerlukan orang-orang kuat di belakangnya.Balok di bagian depan biasanya akan dilarung ke laut, ini sebagai simbol penolak bala. Sedangkan balok di bagian belakang di simpan di rumah, merupakan simbol istri pelaut yang selalu setia untuk menunggu sang suami pulang. Ada sekitar 126 lembar papan yang dipakai untuk membuat dasar perahu pinisi.Papan-papan disusun sedemikian rupa hingga rapat dan kokoh, kemudian dilanjutkan dengan pemasangan buritan atau tempat kemudi. Setelah badan perahu selesai dikerjakan, proses berikutnya adalah memasukkan majun ke dalam sela papan. Ini bertujuan untuk memperkuat sambungan papan-papan tersebut. Pelekat yang dipakai juga sangat sangat alami, yakni dari kulit pohon barruk. Setelah proses ini selesai, dilanjutkan dengan pemdepulan dengan campuran minyak kelapa dan kapur. Ciri khas dari perahu pinisi adalah 2 tiang agung atau disebut dengan sokuguru dan layar yang membentang lebar.
Pada saat peletakan lunas, juga harus disertai prosesi khusus. Saat dilakukan pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai simbol wanita. Usai dimanterai, bagian yang akan dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti. Itu sebabnya untuk melakukan pemotongan harus dikerjakan oleh orang yang bertenaga kuat. Demikian selanjutnya setiap tahapan selalu melalui ritual tertentu.
Tolak Bala
Acara peluncuran perahu phinisi berukuran jumbo di Pantai Panrang Luhu, Desa Bira, Kecamatan Bontobahari, Bulukumba, seperti biasanya, diawali dengan prosesi ritual adat.Sebagaimana biasa pula, ritual adat dimulai dengan upacara appasili atau tolak bala. Untuk kelengkapan upacara appasilisebelumnya telah disiapkan seikat dedaunan yang terdiri dari daun sidinging, sinrolo, taha tinappasa, taha siri, panno-panno yang diikat bersama pimping. Selain itu, juga disiapkan kue-kue tradisional seperti gogoso', onde-onde, songkolo', cucuru', dan lain-lain.
Upacara dimulai tepat pada pukul 21.00 wita. Pembuat kapal dan sanro (dukun), serta tamu khusus dan tokoh masyarakat duduk berhadap-hadapan di atas geladak kapal mengelilingi kelengkapan upacara yang akan dipakai dalam upacara appasili.
Tak lama kemudian, terlihat mulut sanro berkomat-kamit membacakan mantera-manterasongkabala atau tolak bala. Di depan sang sanro terdapat sebuah wajan yang berisi air (dari mata air) dan seikat dedaunan untuk membacakan mantera dengan khidmat dan khusuk. Air tersebut kemudian dimantera-manterai sambil diaduk-aduk dengan menggunakan seikat dedaunan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Setelah pembacaan mantera selesai, tersebut dipercikkan ke sekeliling perahu dengan cara dikibas-kibaskan dengan ikatan dedaunan tadi. Setelah upacara selesai, kemudian para tamu dijamu dengan penganan tradisional.
Prosesi Ritual Ammossi
Puncak acara ritual adalah ammossi, yakni penetapan dan pemberian pusat pada pertengahan lunas perahu yang selanjutnya akan dilakukan penarikan perahu ke laut. Pemberian pusat ini berdasar pada kepercayaan bahwa perahu adalah “anak” punggawa / panrita lopi (pembuat perahu). Berdasar pada kepercayaan itu, maka upacara ammossi merupakan simbolisasi pemotongan tali pusar bayi yang baru lahir.
Sebelum prosesi ammossi dilakukan, seluruh kelengkapan upacara disiapkan di sekitar pertengahan lunas perahu yang merupakan tempat upacara. “Punggawa” atau pembuat perahu berjongkok di sebelah pertengahan lunas perahu berhadapan dengan sanro. Tak lama kemudian mulut sanro berkomat-kamit membacakan mantera sambil membakar kemenyan. Selesai membaca mantera, sang sanro membuat lubang di tengahkalabiseang, selanjutnya kalabiseang dibor sampai tembus ke sebelah kanan lunas perahu.
Setelah prosesi ammossi selesai, dimulailah ritual penarikan perahu ke tengah laut. Prosesi ini dahulunya memanfaatkan tenaga manusia yang sangat banyak untuk menarik perahu ke laut, namun karena tonase perahu sangat berat, prosesi ini sudah menggunakan peralatan yang lebih “modern”, yaitu katrol. Pada prosesi peluncuran malam itu, penarikan perahu phinisi menggunakan katrol dan rantai sebagai simbolisasi penarikan perahu. Perahu yang ditarik sudah dianggap masuk ke laut jika badan perahu telah menyentuh air laut.
Jenis Perahu Phinisi
Ada dua jenis perahu phinisi, yaitu Lamba atau Lambo dan Palari. Phinisi jenis lamba atau lambo adalah perahu phinisi modern yang masih bertahan sampai saat ini dan sekarang dilengkapi dengan motor diesel (PLM), sedangkan perahu phinisi jenis palari adalah bentuk awal perahu phinisi dengan lunas yang melengkung dan ukurannya lebih kecil dari jenis Lamba.
Dari proses pembuatan ini tergambar beberapa bagian perahu pinisi yang memiliki fungsi dalam menggerakkan kapal. Bagian-bagian tersebut antara lain :
1. Anjong, (segi tiga penyeimbang) berada pada bagian depan kapal.
2. Sombala (layar utama) berukuran besar
3. Tanpasere (layar kecil) berbentuk segitiga ada di setiap tiang utama.
4. Cocoro pantara (layar bantu depan).
5. Cocoro tangnga (layar bantu tengah.
6. Tarengke (layar bantu di belakang)
Informasi Tambahan
RITUAL ADAT.  Acara peluncuran perahu phinisi berukuran jumbo di Pantai Panrang Luhu, Desa Bira, Kecamatan Bontobahari, Bulukumba, seperti biasanya diawali dengan prosesi ritual adat.

0 comments:

Post a Comment